not copas

Minggu, 22 Juni 2014

Kebijakan Migas Pemerintah Gagal



JAKARTA - Pengamat minyak dan gas bumi (migas), Kurtubi menilai, pemerintah telah gagal mengelola kebijakan migas di dalam negeri. Hal itu dapat dilihat dari 10 tahun periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)/ Belum ada satu pun kilang minyak yang terbangun. Selain itu, hingga kini infrastruktur gas bumi yang akan dijadikan energi pengganti BBM belum berhasil terpasang menyeluruh.

Menurutnya, bila pemerintah serius mengelola kebijakan migas dalam negeri, persoalan pembatasan BBM seperti yang saat ini tengah dibahas untuk mobil LCGC dan rencana mandatory dual fuel oleh pemerintah, tidak perlu terjadi.

"Upaya mengurangi konsumsi BBM sebenarnya hanya persoalan apakah pemerintah mau menjalankan atau tidak. Bila secara konsep dan wacana, sudah hampir 10 tahun lalu dibicarakan. Saat ini, ternyata masih dalam tahap rencana mengeluarkan kebijakan. Lalu, kapan akan dikeluarkan kebijakan itu?" tutur Kurtubi kepada SH, Kamis (8/5).

Ia menilai, upaya konversi BBM ke BBG tidaklah sulit dijalankan bila pemerintah benar-benar serius melakukannya. Pertama, menurutnya, pemerintah hanya tinggal memerintahkan SKK Migas untuk menyiapkan gas, lalu memerintahkan Kementerian ESDM berkoordinasi dengan BUMN, seperti Pertamina dan PGN, guna menyiapkan SPBG. Sementara itu, Kementerian Perindustrian diperintahkan menyediakan konverter kit. 

"Langkah pemerintah menekan konsumsi BBM bersubsidi belum menyentuh persoalan utama. Pemerintah malah terjebak dalam wacana pembatasan BBM. Padahal, yang terbaik adalah segera mengonversi BBM ke BBG. Itu karena hasil produksi minyak kita terus turun, sedangkan kebutuhan terus meningkat. Jadi, solusi paling mudah memang pembatasan BBM," ujar Kurtubi.  

Ia menambahkan, dengan meningkatnya kebutuhan, cara paling cepat dan mudah adalah mengimpor BBM. Akibatnya, anggaran pemerintah untuk membeli BBM terus meningkat setiap tahun.

Cara terbaik mengatasi persoalan BBM di dalam negeri, menurut Kurtubi, pemerintah harus mempercepat pembangunan infrastruktur gas. Dengan begitu, konsumsi BBM dengan sendirinya berkurang sebab harga BBG jauh lebih murah dibandingkan BBM.

Tapi, hingga saat ini pemerintah seperti kesulitan membangun infastruktur BBG. Hal itu, menurutnya, dikarenakan anggaran yang ada lebih diutamakan guna menyubsidi BBM yang setiap tahunnya terus meningkat. 

“Padahal bila pemerintah mengambil kebijakan migas dengan tepat, tidak perlu mempersoalkan minimnya produksi minyak dan tingginya impor BBM sehingga harus membatasi BBM bersubsidi,” tuturnya.

Sebelumnya, Kementerian Perindustrian menyatakan akan membahas peraturan tentang perubahan nozzle di mobil LCGC. Ini guna mencegah penggunaan BBM bersubsidi. 

Namun, perubahan lubang nozzle pada mobil LCGC dinilai belum akan terwujud waktu dekat. Pasalnya, agen tunggal pemegang merk (ATPM) LCGC harus membuat ulang desain perubahan tersebut.

ESDM Dukung

Kementerian ESDM mendukung rencana Kementerian Perindustrian dan PT Pertamina yang akan mengubah nozzle di mobil LCGC. Meski begitu, menurut Kepala Pusat Komunikasi Kementerian ESDM, Saleh Abdurahman, pihaknya menyerahkan sepenuhnya kepada Kementerian Perindustrian soal aturan terkait perubahan nozzle. Ia hanya berharap, perubahan bentuk perubahan nozzle telah dibahas dengan semua pihak dan diperhitungkan dampaknya kepada masyarakat. Jadi, hal tersebut tidak membuat persoalan baru ke depan.

"Kami mendukung upaya membatasi BBM subsidi melalui perubahan nozzle. Kami berharap, dengan aturan yang baru ini, pendistribusian BBM subsidi menjadi tepat sasaran," ucap Saleh.

Sumber : Sinar Harapan
http://sinarharapan.co/news/read/140509132/Kebijakan-Migas-Pemerintah-Gagal