JAKARTA - Pengamat minyak dan gas
bumi (migas), Kurtubi menilai, pemerintah telah gagal mengelola kebijakan migas
di dalam negeri. Hal itu dapat dilihat dari 10 tahun periode pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)/ Belum ada satu pun kilang minyak yang
terbangun. Selain itu, hingga kini infrastruktur gas bumi yang akan dijadikan
energi pengganti BBM belum berhasil terpasang menyeluruh.
Menurutnya, bila pemerintah serius
mengelola kebijakan migas dalam negeri, persoalan pembatasan BBM seperti yang saat
ini tengah dibahas untuk mobil LCGC dan rencana mandatory dual fuel oleh
pemerintah, tidak perlu terjadi.
"Upaya mengurangi konsumsi BBM
sebenarnya hanya persoalan apakah pemerintah mau menjalankan atau tidak. Bila
secara konsep dan wacana, sudah hampir 10 tahun lalu dibicarakan. Saat ini,
ternyata masih dalam tahap rencana mengeluarkan kebijakan. Lalu, kapan akan
dikeluarkan kebijakan itu?" tutur Kurtubi kepada SH, Kamis (8/5).
Ia menilai, upaya konversi BBM ke
BBG tidaklah sulit dijalankan bila pemerintah benar-benar serius melakukannya.
Pertama, menurutnya, pemerintah hanya tinggal memerintahkan SKK Migas untuk
menyiapkan gas, lalu memerintahkan Kementerian ESDM berkoordinasi dengan BUMN,
seperti Pertamina dan PGN, guna menyiapkan SPBG. Sementara itu, Kementerian
Perindustrian diperintahkan menyediakan konverter kit.
"Langkah pemerintah menekan
konsumsi BBM bersubsidi belum menyentuh persoalan utama. Pemerintah malah
terjebak dalam wacana pembatasan BBM. Padahal, yang terbaik adalah segera mengonversi
BBM ke BBG. Itu karena hasil produksi minyak kita terus turun, sedangkan
kebutuhan terus meningkat. Jadi, solusi paling mudah memang pembatasan
BBM," ujar Kurtubi.
Ia menambahkan, dengan meningkatnya
kebutuhan, cara paling cepat dan mudah adalah mengimpor BBM. Akibatnya,
anggaran pemerintah untuk membeli BBM terus meningkat setiap tahun.
Cara terbaik mengatasi persoalan BBM
di dalam negeri, menurut Kurtubi, pemerintah harus mempercepat pembangunan
infrastruktur gas. Dengan begitu, konsumsi BBM dengan sendirinya berkurang
sebab harga BBG jauh lebih murah dibandingkan BBM.
Tapi, hingga saat ini pemerintah
seperti kesulitan membangun infastruktur BBG. Hal itu, menurutnya, dikarenakan
anggaran yang ada lebih diutamakan guna menyubsidi BBM yang setiap tahunnya
terus meningkat.
“Padahal bila pemerintah mengambil
kebijakan migas dengan tepat, tidak perlu mempersoalkan minimnya produksi
minyak dan tingginya impor BBM sehingga harus membatasi BBM bersubsidi,”
tuturnya.
Sebelumnya, Kementerian Perindustrian
menyatakan akan membahas peraturan tentang perubahan nozzle di mobil LCGC. Ini
guna mencegah penggunaan BBM bersubsidi.
Namun, perubahan lubang nozzle pada
mobil LCGC dinilai belum akan terwujud waktu dekat. Pasalnya, agen tunggal
pemegang merk (ATPM) LCGC harus membuat ulang desain perubahan tersebut.
ESDM Dukung
Kementerian ESDM mendukung rencana
Kementerian Perindustrian dan PT Pertamina yang akan mengubah nozzle di mobil
LCGC. Meski begitu, menurut Kepala Pusat Komunikasi Kementerian ESDM, Saleh
Abdurahman, pihaknya menyerahkan sepenuhnya kepada Kementerian Perindustrian
soal aturan terkait perubahan nozzle. Ia hanya berharap, perubahan bentuk
perubahan nozzle telah dibahas dengan semua pihak dan diperhitungkan dampaknya
kepada masyarakat. Jadi, hal tersebut tidak membuat persoalan baru ke depan.
"Kami mendukung upaya membatasi
BBM subsidi melalui perubahan nozzle. Kami berharap, dengan aturan yang baru
ini, pendistribusian BBM subsidi menjadi tepat sasaran," ucap Saleh.
Sumber : Sinar Harapan
http://sinarharapan.co/news/read/140509132/Kebijakan-Migas-Pemerintah-Gagal